Bagan asal usul sultan syarif abdul rahman pontianak
Jauh hari sebelum kesultanan pontianak di dirikan, ada seorang Habib penyebar agama islam dan terkenal dengan ilmu kesaktian karena karomah yang ia miliki, ia bernama Habib Husein Alkadrie. Ia adalah ayah dari sultan Syarief Abdul Rahman pendiri kesultanan pontianak , ia berasal dari Hadralmaut, Yaman.
Setelah menamatkan pelajaran agama Islam, atas saran gurunya, berangkatlah Syarief Hussein menuju ke negeri sebelah timur Jazirah Arab dengan tujuan untuk melaksanakan syiar Islam.
Besertanya ikut juga dua orang rekanannya yang lain, daerah tujuan utama mereka adalah Aceh. Di sana mereka berdiam hingga beberapa tahun, kemdian Habib Hussein melanjutkan perjalanan kembali ke Betawi, sedangkan rekannya tetap tinggal di aceh.
Kurang lebih tujuh bulan Habib Husein berada di Betawi. Lalu kemudian Habib Husein melanjutkan perjalanan ke semarang , dan di sana ia menetap sekitar dua tahun bersama ulama yang bernama Syekh Salim Hambal.
Kemudian Syekh salim hambal dan habib Hussein bersepakat untuk menyebrang ke pulau borneo dengan tujuan sebuah kerajaan yang bernama Matan, yakni turunaan dari kerajaan Tanjung Pura Sukadana. Di kerajaan tersebut masih belum sepenuhnya penduduk menganut agama Islam maka ke dua sahabat tersebut bermaksud menuju ke sana guna menyebarkan agama islam sambil berniaga.
Visual gusti Zakar sultan muhammad zanuddin pada tahun 1665
Sultan Muhammad Zainuddin merupakan Raja Matan pertama. Dia telah mengalami beberapa peristiwa dalam pemerintahan sebelumnya di kerajaan tanjung pura Sukadana. Dari mulai diserang oleh pasukan Sultan Agung dari Mataram tahun 1622, kekacauan demi kekacauan terjadi, dan gangguan bajak laut semakin merajalela sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata, yang mengakibatkan semakin lemahnya pertahanan Sukadana sehingga membuat Sultan Muhammad Zainuddin mengalihkan pusat pemerintahannya ke Matan.
Untungnya Pada masa pemerintahan Panembahan Baruh (1548-1550) telah merintis perluasan kekuasaannya ke daerah pedalaman sungai Melano, yaitu di Desa Matan. Pengembangan pusat kekuasaan ke Matan ini, adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk di Sukadana di zaman panembahan sorgi.
Dengan pindahnya kerajaan ke Matan maka kosonglah Sukadana lebih 100 tahun lamanya. Penduduk migrasi ke pedalaman, menyusuri sungai Melano, Sungai Matan, sungai Bayeh dan bermukim di kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, Balai bekuak dan sebagainya.
Ilustrasi pindahnya masyarakat dari sukadana ke simpang matan,[/caption]
Ketika pemerintahan di Matan inilah terjadinya peristiwa perpecahan dengan adiknya Pangeran Agung yang berusaha untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Sultan Muhammad Zainuddin.
Atas bantuan lima bersaudara Daeng Menambun anak dari Opu Daeng Ralaka (Opu Daeang Perani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak) . Kemudian masuklah lima bersaudara Daeng Menambun berhasil menangkap Pangeran Agung dan mengembalikan Sultan Muhammad Zainuddin ke tahta kerajaannya. (Silsilah Kerajaan Mempawah:23).
Suatu hari datanglah rombongan kapal layar memasuki negeri Matan. Ternyata rombongan tersebut adalah Habib Hussein dan Syekihk salim hambal , di sana sana mereka kemudian menemui Saiyid Hasyim al-Yahya dengan gelar Tuan Janggut Merah, seorang ulama yang hebat, gagah, dan berani yang menjadi kepercayaan raja Matan ( Sultan Muhammad Zainuddin ) .
Setelah menetap beberapa hari di Matan, Habib Husein dan Syekh Salim kemudian dijamu oleh Sultan Matan. Pada saat jamuan makan dengan sultan digelar, ada suatu kisah menarik yang mencerminkan kecerdikan ilmu Habib Husein ketika menyikapi kejadian yang berkenaan dengan ornamen adat istiadat setempat, yakni berupa tempat sirih yang menjadi adat istiadat kesultanan yang dikeluarkan di hadapan sultan dan para punggawa kesultanan.
Saat itu Sayyid Hasyim al-Yahya
melihat suatu benda besi dengan ukiran kepala ular yang ada di dalam tempat
siri tersebut, juga terdapat Kacip dan perabahannya.
Di hadapan Sultan Matan dan para pembesar kesultanan, Sayid Hasyim
mematah-matah dan menumbuk-numbuk benda tersebut dengan tongkatnya hingga
hancur berkeping keping.
Kontan saja, Sultan marah
terhadap sikap Saiyid Hasyim. Namun Habib Husein mengambil benda yang telah
tercerai-berai tersebut, yang kemudian diusap-usap dengan air liurnya. Atas
izin Allah SWT, benda tersebut tiba-tiba kembali utuh seperti sedia kala dan
menyerahkan kembali kepada sultan untuk dapat di pakai kembali.
Sultan Matan mengagumi kesaktian
yang dimiliki Habib Husein. Beberapa hari setelah acara jamuan makan tersebut,
Sultan Matan menunjuk Habib Husein sebagai guru di negeri Matan.
Seiring berjalannya waktu, Sultan
Matan yang berpermaisurikan Nyai Kendi bermaksud menjodohkan kan Habib Husein dengan putrinya yang bernama Utin Kabanat atau
yang di panggil Nyai Tua. Singkat kisah Menikahlah keduanya dengan di saksikan
rakyat matan.
Gelar Nyai dalam kerajaan Matan merupakan
gelar isteri orang yang ternama atau gelar isteri raja. Nyai Tua adalah isteri gahara, istri yang tua, seperti
halnya dengan Nyai Tua istri Habib hussein yang
nama sebenarnya adalah Utin Kabanat.
Perkawinan mereka dikaruniai empat putra-putri, yaitu: Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwi Alkadrie. Syarief Abdurrahman Alkadrie dikenal sebagai tokoh yang pernah mendirikan Kesultanan Kadriah (Pontianak) di Kalimantan Barat.
Perkawinan mereka dikaruniai empat putra-putri, yaitu: Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwi Alkadrie. Syarief Abdurrahman Alkadrie dikenal sebagai tokoh yang pernah mendirikan Kesultanan Kadriah (Pontianak) di Kalimantan Barat.
Setelah menetap di Matan selama 15
Tahun, Habib Husein didatangi seseorang yang merupakan utusan Raja Mempawah
(Upu Daeng Menambon dengan gelar Pangeran Tua) dengan membawa sepucuk surat dan
dua buah perahu. Surat yang dibawa isinya tiada lain adalah bujukan raja
terhadap Habib Husein agar ia bersedia pindah ke Mempawah.
Habib Husein tidak langsung
menerima tawaran tersebut karena dirinya masih betah tinggal di Matan. Utusan
raja tersebut kemudian kembali ke Mempawai dengan tangan kosong. Namun akhirnyahabib
Hussein menyanggupinya. saat kepindahan
itu Usia Syarif Abdurrahman menapak 15 Tahun.
Kebesaran nama Habib Husein (Tuan
Besar Mempawah) tersebar luas hingga ke Asia Tenggara. Ia merupakan penganut
madzhab Syafii. Ia juga suka dengan ilmu tasawuf. Amalan tasawuf yang sering
dilakukannya adalah Ratib al-Haddad dan Tarekat Qadiriyah. Ketika menjadi mufti
Mempawah, yang diajarkannya kepada masyarakat umum lebih berupa amalan dan
bercorak memberi keterangan (syarah).
Habib Husein wafat pada pukul
02.00 petang, tepatnya pada tahun 1184 H/ 1771 M, di Sebukit Rama Mempawah,
dalam usia 64 tahun.
Pada tanggal 23 Oktober1771 (14 Rajab
1184 H), tepatnya menjelang subuh, mereka akhirnya sampai di persimpangan
Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Rombongan Syarif Alkadrie kemudian menebang
pohon-pohon di hutan selama delapan hari guna keperluan membangun rumah, balai,
dan sebagainya. Di tempat itulah Kesultanan Kadriah berdiri, beserta Masjid
Djami‘ (yang telah berdiri sebelumnya) dan Keraton Pontianak (yang berdiri
setelah berdirinya kesultanan). Pada tanggal 8 Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif
Alkadrie akhirnya dinobatkan sebagai Sultan Pontianak (Kesultanan Kadriah)
dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie. Kesultanan ini
merupakan kerajaan paling akhir yang ada di Kalimantan dan sebagai cikal bakal
berdirinya Kota Pontianak.
Penobatan Syarif Idrus Abdurrahman
al-Alydrus sebagai Raja Pontianak dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa
Kesultanan Riau. Penobatan tersebt dihadiri oleh para pemimpin dari sejumlah
kerajaan, anara lain Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah,
Sambas, dan Banjar. Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus memang memiliki
kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau.
Tahun 1778, VOC datang ke Kalimantan
Barat mengganggu kestabilan Kerajaan Pontianak. Syarif Idrus Abdurrahman
al-Alydrus dihasut supaya menguasai kerajaan-kerajaan yang selama ini menjadi
sekutu Kerajaan Pontianak. Atas bantuan VOC pada tahun 1787, Kerajaan Pontianak
berhasil menguasai Kesultanan Tanjungpura dan Mempawah. Tahun 1808, Syarif
Idrus Abdurrahman al-Alydrus meninggal dan terjadilah perebutan kekuasaan
antara kedua putranya, yaitu Syarif Kasim dan Syarif Usman. Akhirnya, Syarif
Kasim yang terpilih menjadi raja Pontianak akibat pengaruh VOC walaupun
sebenarnya ayah mereka sudah menunjuk Syarif Usman sebagai raja Pontianak.
Di bawah pemerintahan Sultan Syarif
Kasim Alkadrie (1808-1819), Kerajaan Pontianak semakin bergantung pada pihak-pihak
asing, yaitu Belanda dan Inggris sejak tahun 1811. Setelah Sultan Syarif Kasim
wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik
tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman,
banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan
meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan
Istana Kadriah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman
meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif
Hamid Alkadrie (1855-1872), lalu dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid
wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik
tahta beberapa bulan setelah ayahnya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai
satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia
lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar
agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf
berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif
Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan
Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan
Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah
Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan
dan modernisasi di Pontianak.
Kesultanan ini berlangsung selama
hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950. Ketika kesultanan
ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga
berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak. Pada tahun 1943-1945,
pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang melawan kolonialisme Jepang
di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di Jawa dan Sumatera.
Kesultanan Kadriah merupakan kerajaan
terbesar di wilayah Kalimantan beserta kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan
Sambas dan Kerajaan Banjar. Kesultanan Kadriah berkembang pesat karena didukung
dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan yang menyebabkan banyaknya kapal
nusantara dan asing yang datang ke pelabuhan tersebut untuk memasarkan berbagai
jenis barang dagang. Di antara jenis barang yang dimaksud adalah: berlian,
emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang
burung, kopra, lada, kelapa, dan sebagainya.
Proses ini juga berpengaruh terhadap
kehidupan sosial masyarakat yang kemudian banyak mengembangkan kegiatan
ekonomi, pertanian, dan perdagangan.Tidak sedikit dari para pendatang yang
kemudian bermukim di daerah ini. Setiap pendatang yang berasal dari suku bangsa
yang berbeda diberikan tempat tersendiri untuk bermukim. Sehingga nama-nama
daerah (kampung) lebih menunjukkan karakteristik ras dan etnisitas, seperti ada
Kampung Bugis, Melayu, Tambelan Sampit, Banjar, Bali, Bangka-Belitung, Kuantan,
Kamboja, Bansir, Saigon, Arab, Tanjung, Kapur, Parit Mayor, dan sebagainya.
Adanya kampung-kampung tersebut menunjukkan bahwa komposisi masyarakat di
Kesultanan Kadriah terdiri dari keturunan pribumi (termasuk Melayu), Arab,
Cina, Eropa, dan sebagainya. Heterogenitas etnik merupakan ciri utama komposisi
masyarakat di Kesultanan Kadriah (kini namanya Pontianak). WK Team Di rangkum dari berbagai sumber .
Sumber buku dan referensi :
Para Penyebar islam di indonesia
Ksatria Khatulistiwa
Menapak Tilas Kerajaan tanjung Pura
Islam di pesisir kalimantan barat
The sarawak Journal
0 Komentar